Sabtu, 29 Januari 2011

ALERGI HIDUP (Sebuah Renungan Pagi)

Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya : "Guru, saya sudah
bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha
saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati".

Sang Guru tersenyum : "Oh, kamu sakit".
"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan
kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati".
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru
meneruskan : "Kamu sakit. Penyakitmu itu bernama "Alergi Hidup". Ya,
kamu alergi terhadap kehidupan. Banyak sekali di antara kita yang
alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan
terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan
keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut
mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit.
Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita
sakit. Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga,
pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu
langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini ? Kita tidak menyadari
sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian
kita gagal, kecewa dan menderita".
"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad
ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku", kata sang Guru.
"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak
ingin hidup lebih lama lagi", pria itu menolak tawaran sang Guru.
"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati ?", tanya
Guru.
"Ya, memang saya sudah bosan hidup", jawab pria itu lagi.
"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat
ini... Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh
sisanya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam
kau akan mati dengan tenang".
Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang
ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun,
Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah
menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh,
ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun
yang disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan
ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks,
begitu santai ! Tinggal satu malam dan satu hari ia akan mati. Ia
akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di
restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa
tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan
kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat
harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, "Sayang,
aku mencintaimu" . Sekali lagi, karena malam itu adalah malam
terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat
ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk
melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia
menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk
dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi
untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin
eninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali dan
berkata : "Sayang, apa yang terjadi hari ini ? Selama ini, mungkin
aku salah. Maafkan aku sayang".
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang.
Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya ?" Dan sikap
mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang
itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-
tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan
lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang
berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya
di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman
kepadanya sambil berkata : "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau
selama ini aku selalu merepotkan kamu". Anak-anak pun tidak ingin
ketinggalan : "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu
tertekan karena perilaku kami".
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup
menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore
sebelumnya ?
Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang
Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi dan berkata : "Buang
saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup
dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat
menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik
kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah
lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau
tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah
rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju
ketenangan".
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu
pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon,
ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian.
Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar